Bagikan Juga


Suara Anak Indonesia (SAI) setiap tahun di susun di hari anak nasional, dan dibacakan di depan Presiden. Yang diharapkan menjadi perhatian semua pihak, dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. SAI merupakan rangkaian kegiatan selama setahun, yang dilakukan di dalam menghimpun suara anak mulai dari tingkat kelurahan, sampai akhirnya di bacakan di tingkat nasional.

Meski SAI disuarakan tiap tahun, namun kita tahu generasi selalu terlahir, dan membawa kondisi yang beragam, berbeda, dan unik. Bahkan pendekatan intervensi setiap generasi berbeda, karena perkembangan dan kebutuhan yang muncul, menuntut orang dewasa banyak belajar.

Sebagai Negara yang terdiri dari puluhan ribu gugus pulau, persoalan mendasar kita, yang disampaikan Bappenas adalah soal kesenjangan. Yang sampai sekarang terus di kejar menjadi kerja kerja pembangunan. Kerja ini terus berestafet sampai pemerintahan saat ini.

Sehingga menyebabkan pemerataan pemenuhan hak anak masih menjadi PR besar. Untuk itulah indikator pembangunan dan kesejahteraan anak penting di ukur di setiap Hari Anak Nasional. Agar dapat bercermin diri, sudah sejauh apa kerja penyelenggaraan perlindungan anak. Baik yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga.

Karena ke empat komponen ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari lapisan saling menguatkan dalam mengurangi ancaman di sekitar anak dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembangnya sesuai usia, tingkat pemahaman, tumbuh dan kembang mereka.

Karena hal tersebut pula, Indonesia belum bisa terlepas dari masalah pemenuhan hak paling dasar yaitu hak kesehatan, hak kesejahteraan anak. Padahal kedua hak ini menjadi gerbang awal penentu pemenuhan hak anak lainnya. WHO dan UNICEF mencatat Indonesia berada di urutan 117 dalam penanganan kesehatan dan kesejahteraan. Tentu menjadi urutan Negara lapisan paling belakang dalam berinvestasi buat generasinya. Bahkan dengan Negara tetangga terpaut jauh urutannya.

KPAI dalam laporan pengaduan masyarakat terkait persoalan anak, juga menjadi data yang selalu di ibaratkan fenomena puncak gunung es, karena dari angka yang terlaporkan, masih sangat jauh dari realitanya. Sehingga tantangan pemenuhan hak anak di Negara ini masih banyak menghadapi persoalan.

Setidaknya dari laporan tersebut. Indonesia masih berhadapan dengan emisi karbon yang berlebihan, memperketat pengaturan pemasaran alkohol, produk, dan makanan berbahaya. Mereka menyarankan setiap negara membuat kebijakan yang melindungi kesehatan, gizi serta hak anak, dan juga memasukkan suara anak dalam kebijakan.

Meski kita sudah memiliki Undang Undang Perlindungan Anak yang sudah berumur 21 tahun. Dengan proyeksi kebijakan jangka panjang, namun anggaran pada kenyataan belum sepenuhnya berpihak. Meski kebijakan berorientasi jangka panjang hingga 18 tahun, namun dalam penganggaran tidak menyatakan demikian. Dari evaluasi KPAI tiap tahun menyampaikan timpangnya anggaran antara pemenuhan hak anak dan anggaran perlindungan khusus anak. Sehingga pemerintah terus berupaya meningkatkan layanan, diantaranya memperluas kewenangan Kementarian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun itupun masih belum berjalan efektif, karena kebijakan nya masih harus dilengkapi perangkat regulasi lainnya, dalam rangka efektifitas dan efesiensi implementasi.

Survey KPAI kepada lembaga pemerintah yang menyediakan layanan perlindungan khusus anak menyatakan banyak penanganan tidak tuntas, Hal ini tentu menyumbang menyebabkan Indonesia masih terus berhadapan dengan tingginya angka kekerasan, penanganan kekerasan yang belum terpadu.

Meski ada lembaga layanan perlindungan khusus anak, yang berfungsi mencegah anak dari kekerasan dan mengurangi ancaman. Namun ketika melihat kebutuhan dilapangan, akses layanan masih dirasa terlalu jauh, Bila kita melihat media medio Januari sampai Juli 2023 saja, kasus kasus kekerasan banyak yang terlaporkan di damai kan dalam tanda kutip. Sehingga justru peristiwa sebenarnya lebih banyak diungkap media investigasi, Dari situlah berbondong bondong akses layanan dengan tergopoh gopoh menjemput korbannya.

Artinya ini ukuran, layanan terdekat, belum bisa merespon baik, karena fasilitas yang belum merata tersebut. Sehingga tidak dan telat tertangani. Kebutuhan manajemen kasus, manajemen rujukan yang tercermin dalam perlindungan khusus anak di berbagai regulasi, masih belum dirasakan dekat dengan anak.

Tentu berbagai fenomena kekerasan yang masih berlangsung di bulan Juli bulannya Hari Anak menjadi perhatian banyak pihak.

Untuk itulah Hari Anak Nasional menjadi momentum yang sangat penting, dalam kita melihat kembali penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Namun perayaan Hari Anak masih belum menjadi mainstreaming kuat. Kita bisa melihat, berapa sekolah, berapa pesantren, berapa layanan yang bekerja melibatkan anak, merayakannya. Tentu masih sangat jauh dari harapan. Padahal disanalah momen kita membangun perhatian kembali.

Di Jakarta saja, dalam pertemuan dengan beberapa anak yang diajak jadi panitia Hari Anak, ketika ditanya tahukah Hari Anak mereka tidak tahu. Sehingga kami mendorong diadakan perayaan Hari Anak meski sangat sederhana. Artinya di tingkat perkotaan saja, masih sangat minim kesadaran merayakan Hari Anak. Artinya bila angka kekerasan terus meloncat, target prioritas pembangunan kepada isu anak masih belum menunjukkan pengaruh yang significan dari target yang ditentukan, memang tergambarkan dari perhatian kita semua kepada hari Anak, bahwa di tingkat paling dekat dengan kekerasan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam merayakan hari anak masih perlu digugah dan dibangunkan.

Banyaknya kasus kekerasan yang terungkap media diselesaikan di ranah pribadi, menyatakan akses dukungan dari terdekat anak, masih sangat kurang. Pemerintah pelaksana perlindungan anak, dengan anggaran yang tersebar di berbagai Kementerian, Lembaga dan institusi masyarakat yang ditunjuk, masih sangat membutuhkan dukungan dan keberpihakan.

Dalam pengalaman KPAI bermitra dalam penanganan kekerasan anak di lapangan, meski banyak task force yang dibentuk pemerintah di lapangan. Namun kinerja tidak maksimal, karena minimnya dukungan anggaran. KPAI sendiri terus berinovasi layanan dengan mencoba membangun KPAI di tingkat provinsi dan kabupaten. Namun bukannya tumbuh, banyak yang meredup, bahkan ada yang tutup. Hal ini terbukti disetiap pengawasan KPPPA dan KPAI kepada instrument evaluasi program Kota Layak Anak. Masih banyak daerah di Indonesia belum memiliki perangkat, SOP dan anggaran yang memadai dalam mencegah kekerasan, sehingga banyak kasus yang tidak tertangani jangka panjang.

Dari kasus kasus yang besar saja, seperti kasus HW di Tasikmalaya, yang hartanya dijaminkan menjadi restitusi, sampai sekarang tidak bisa di eksekusi, karena alasannya bukan atas namanya, tapi yayasan. Hal ini dilaporkan ke KPAI dari para pendamping yang aktif dan pengawas kasus ini. Sehingga para penyintas korban melaporkan kembali kondisi mereka, yang masih butuh pemulihan jangka panjang.

Kemudian kasus yang terbaru, Al Zaitun. Kita juga di sampaikan dari alumni mereka yang di wawancarai media, yang menyampaikan kondisi sekolah dengan istilah keanehan. Dan baru terungkap sekarang. Bayangkan berapa kali lembaga pendidikan mendapatkan kunjungan, kunker, pengawasan, mengurus kembali surat ijin, tidak terlacak. Ada suara anak yang menyampaikan namun sayup diantara isu lainnya yang sekarang sedang santer dibahas, bahkan sayupnya menjadi suara yang hilang sejak lama, tertutupi industri yang lebih besar kepentingannya. Bahwa suara anak tidak terperhatikan sejak dini. Bahkan mereka bisa menyuarakannya setelah menjadi alumni. Hal ini juga terjadi saat terungkap kasus di beberapa pesantren dan sekolah. Maka kita sedang membayangkan langengnya kekerasan di ranah tersebut, dan tentu setiap muncul kasus anak, kita bicara angka fenomena puncak gunung es, yang di sampaikan Presiden dalam ratas kabinet soal anak.

Para pemerhati dan peneliti juga menyampaikan keprihatinan, saat ini industri menjadi penentu efektifitas dan efesiensi perlindungan anak. Bahwa kekerasan yang berlangsung di ranah domestik ini, sekarang di picu lebih cepat terjadi dengan industri candu, industri kekerasan, industri narkoba, industri pornografi dan industri lainnya yang berdampak merugikan tumbuh kembang anak sejak dini. Persoalan ini bertali temali dengan generasi yang harus menanggung dampak lingkungan dari dampak industri. Sehingga sangat penting industri membangun aliansi industri ramah anak.

WHO dan UNICEF juga menggaris bawahi partisipasi suara anak yang masih belum menjadi mainstreaming isu kebijakan. Padahal di susun setiap tahun. Artinya harus ada pola perbaikan perekrutan para pemegang kebijakan, pemegang kuasa Negara, untuk sejak dini sebelum menjabat dan promosi jabatan atau posisinya, memiliki kompetensi pengarusutamaan kebijakan perlindungan anak.

Tidak ada orang tua yang jahat dan tidak ada anak yang nakal. Yang ada adalah kita sendirian melawan berbagai hal yang merugikan anak. Berbagai industri yang merugikan anak punya cara terbaik dalam mendekati anak.

Untuk itu kesadaran semua pihak sangat di tuntut, menjadi kebijakan utuh, tidak timpang, tersistem baik, kesadaran bersama. Karena tanpa itu, kita akan kehilangan satu generasi. Dan setiap generasi yang terlahir masih menghadapi masalah yang sama.

Tidak bisa lagi merasa anak saya paling terlindungi, paling terfasilitasi, paling aman, tidak butuh orang lain. Karena kita menghadapi industri, sekali lagi industri yang dimanfaatkan pihak ketiga untuk melanggengkan kekerasan, pornografi, narkoba dan lain lain. Meski ada merasa pimpinan tertinggi sekalipun di lembaga tidak bisa menghadapinya sendirian, kita yang harus sadar diri dan merapatkan barisan. Ini bukan soal menjaga nama baik lembaga atau melindungi orang yang kita cintai, tapi siapa saja bisa di gilas dan di makan industri yang merugikan anak tanpa disadari.


Salam Hormat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515


Bagikan Juga