Bagikan Juga

Anak yang menjadi korban kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan perlu mendapatkan pendampingan komprehensif. Di sisi lain, pihak rumah sakit juga harus meningkatkan kapasitas para tenaga kesehatan.

PALEMBANG, Anak yang menjadi korban kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik oleh kelalaian perseorangan maupun lembaga layanan kesehatan, perlu mendapatkan pendampingan komprehensif. Di sisi lain, pihak rumah sakit juga harus meningkatkan kapasitas para tenaga kesehatan agar kelalaian tersebut tidak terulang.

Hal ini mengemuka dalam rapat koordinasi yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan sejumlah pemangku kesehatan di Sumsel, Kamis (23/2/2023), di Palembang, Sumatera Selatan. Pertemuan ini juga bertujuan meminta kejelasan mengenai dua kasus yang mencuat dan viral di Palembang.

Kasus pertama adalah jari bayi tergunting akibat kelalaian perawat di RS Muhammadiyah Palembang (RSMP) dan kasus pembengkakan kelamin usai menjalani usus buntu di RSUP Mohammad Hoesein Palembang (RSMH).

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra mengatakan, pertemuan ini bertujuan untuk meminta kejelasan dari pemangku kepentingan mengenai kronologis kejadian dan penanganan pasien pasca peristiwa. Hal ini penting untuk memastikan anak yang menjadi korban mendapatkan haknya.

Dalam kasus bayi yang jarinya terpotong, ujar Jasra, diketahui bahwa sudah ada upaya dari pihak rumah sakit untuk menyelesaikan kasus ini. ”Sampai saat ini pengawasan untuk pengobatan sang bayi masih terus berlangsung,” ujar Jasra.

Adapun untuk kasus anak yang diduga mengalami pembengkakan alat vital setelah operasi usus, pihak RSMH menyatakan, pelaksanaan operasi itu sudah sesuai prosedur medis dan mereka menyangkal anak mengalami pembengkakan pada alat vital anak.

Jasra menekankan pada kasus bayi yang terpotong jari yang disebabkan oleh kelalaian perawat, penanganan pasien pasca kejadian sangatlah penting. ”Harus ada pendampingan secara psikologis karena peristiwa ini akan sangat mempengaruhi masa depannya,” ujarnya.

Tidak hanya itu, perlu ada pendampingan kepada orangtuanya bagaimana memberikan memperlakukan anak tersebut agar tidak merasa dikucilkan ketika anak tersebut sudah memasuki masa sekolah. ”Karena memang si bayi sudah mengalami kecacatan fisik dan menjadi penyandang disabilitas, tentu harus mendapat perlakuan khusus,” ujarnya.

”Karena itu, penanganan kasus ini harus melibatkan semua sektor, tidak hanya kesehatan, tetapi juga pendidikan, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan sektor terkait lainnya,” ujar Jasra.

Di sisi lain, perlu ada peningkatan kapasitas perawat agar kejadian ini tidak terulang. “Ini tentu harus menjadi perhatian karena peningkatan kapasitas tenaga kesehatan sangat kuat relevansinya dengan keselamatan pasien,” ujar Jasra.

Ketua Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RS Muhammadiyah Palembang, Desi Rukiyati mengatakan, pihaknya terus memperhatikan perkembangan kesehatan dari bayi. “Saat ini lukanya sudah membaik dan terus dipantau,” ujarnya.

Adapun DA, perawat yang melakukan kelalaian, sudah dipindahtugaskan ke departemen yang tidak berhubungan langsung dengan pasien. Menurut dia, DA merupakan perawat senior yang sudah menjadi perawat sekitar 12,5 tahun. Dengan pengalamannya itu, ia kerap diminta menangani pasien yang perlu penanganan khusus.

Desi menjelaskan, peristiwa itu bermula ketika DA berupaya memperbaiki infus pada bayi karena mampet tersumbat. Namun, karena perban melekat dengan tangan bayi sehingga perban dibuka dengan menggunakan gunting. Karena bayi terus bergerak akhirnya terjadilah peristiwa naas itu, dimana ujung jari bayi tersebut tergunting secara tidak sengaja.

”Saat itu, perawat berusaha menenangkan ibu pasien, tetapi mereka menolak. Beberapa kali perawat ingin menemui dan minta maaf dengan keluarga korban, tetapi selalu ditolak dan tidak ada pertemuan damai. Akhirnya kami memutuskan untuk mendatangkan tokoh agama untuk menenangkan keluarga korban dan akhirnya kasus ini bisa selesai dengan perdamaian melalui jalur mediasi.

Di sisi lain, Pelaksana Tugas Direktur Perawatan Medik, Keperawatan, dan Penunjang RSMH Palembang dr. H. Marta Hendry, Sp.U, MARS membantah terjadinya malapraktik dalam operasi usus buntu yang dialami CY Perempuan (14). Mengenai luka yang bernanah setelah operasi itu merupakan dampak yang memang kerap terjadi ketika dilakukan operasi terbuka. Risiko ini pun juga sudah diberitahukan kepada keluarga, bahwa akan ada Indikasi Daerah Operasi (IDO) yang perlu diperhatikan pasca operasi supaya tidak timbul gejala infeksi lebih lanjut..

”Dalam penanganan pasien, pihak RS tidak ada perlakuan berbeda kepada pasien. Bahkan, awalnya kami ingin melakukan operasi dengan metode laparoskopi, tetapi karena pasien terdeteksi positif Covid-19, skema itu tidak dijalankan, karena peralatan berada di ruang operasi umum yang digunakan oleh pasien lain” ujarnya.

Ia pun menyangkal telah terjadi pembengkakan alat vital. ”Karena memang operasi usus buntu tidak berkaitan dengan alat vital,” ujar dr. Marta Hendry. Saat ini CY masih menjalani perawatan di RSMH Palembang untuk pemulihan.

Menanggapi masalah ini, Pengurus Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi Sumatera Selatan Prof. Hardi Darmawan menyatakan, hal yang paling penting untuk mengatasi hal ini adalah komunikasi yang efektif, benar, humanis, dan etis. ”Masih ada ditemukan tenaga kesehatan di RS yang melakukan komunikasi yang efektif, tetapi tidak humanis sehingga kerap menimbulkan masalah,” ucapnya.

Masih ada ditemukan tenaga kesehatan di RS yang melakukan komunikasi yang efektif, tetapi tidak humanis sehingga kerap menimbulkan masalah.

Tidak hanya itu, pelibatan semua pihak juga diperlukan agar jika terjadi masalah di RS dapat segera tertangani. Untuk kasus ini, perlu dilibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk melakukan pendekatan kepada keluarga korban.

”Seharusnya perawat yang menjadi pelaku kelalaian tentu tidak akan diterima oleh keluarga karena situasinya sedang tidak baik,” ujar Prof. Hardi.

Terkait kejadian ini, pihaknya sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan menjaga sikap etik setiap tenaga kesehatan. ”Yang terpenting bukan status akreditasi, tetapi pelayanan kepada masyarakat juga harus ditingkatkan,” tegas Prof. Hardi.

Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Sumsel NS. Ahsani, S.Kep., MH menuturkan, kejadian ini mengingatkan setiap RS di Sumsel untuk fokus pada peningkatan kapasitas perawatnya. “Karena perawat terlibat pada setiap fase penanganan pasien mulai dari kelahiran hingga kematian,” ujarnya.

Masalahnya kini, dari 24.000 perawat di Sumsel hanya 50 persen yang menjalani pendidikan lanjutan. Padahal pendidikan lanjutan adalah hak dari setiap perawat yang harus difasilitasi oleh RS. ”Karena jika perawatnya memiliki kemampuan yang baik tentu keselamatan pasien akan lebih terjamin,” ujarnya.

Kegiatan koordinasi pengawasan penanganan kasus-kasus kesehatan dan kesejahteraan dasar anak terus dilakukan oleh KPAI, dalam kesempatan kali ini koordinasi dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan dengan bekerjasama Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel dan Organisasi Profesi Kesehatan lainnya, koordinasi tersebut dilakukan dalam rangka mendorong upaya percepatan penanganan kasus terhadap anak yang menjadi korban dan memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait pola penanganan dan mekanisme koordinasi antar lintas sektor yang komprehensif dalam memberikan upaya perlindungan yang optimal terhadap anak.


Bagikan Juga