Hutang peradaban manusia paling besar abad ini, berada pada isu lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan telah membawa penyakit di seluruh dunia berupa pandemi Covid berbagai varian. Pandemi sebagai kata aktif yang membawa kerusakan, merasuk pelan pelan dalam kehidupan manusia. Dan membawa kita, ke titik ini sekarang. Sesak bernafas akibat Pandemi Covid. Bak rotasi kehidupan yang tidak berjalan sempurna, karena ada satu titik yang tidak menjelankan perannya. Sehingga kita berada di situasi dunia sekarang.
Sayangnya, sering kali, tanpa sadar, isu lingkungan berkamuflase dengan penggayaan lingkungan yang dianggap penting untuk kehidupan manusia dan menuai keuntungan. Namun kenyataannya, kerusakan alam tidak bisa ditahan, realita Covid membawa manusia dalam abad kepunahan. Manusia seperti menciptakan kiamat, Dengan angka kematian tertinggi di dunia. Manusia membuat rentan manusia lainnya, tanpa tercover dari lingkungan yang harusnya bisa otomatis melindungi kehidupan. Yang berakhir munculnya berbagai masalah kemanusiaan. Apa boleh buat? Manusia di dunia berada pada titik ini sekarang. Dampak pandemi yang panjang itu, kini menjadi sesuatu yang belum bisa ditemukan obat penawarnya yang benar benar ampuh.
Tentu saja kerusakan lingkungan, tidak sekedar dampaknya, namun juga membawa perilaku manusia kepada rumahnya sendiri (lingkungan). Perubahan lingkungan, yang tadinya natural atau (alami) itu berubah menjadi merusak dirinya sendiri. Dan berujung menjadi perilaku perebutan hak hidup atas lingkungan dan atas nama kesehatan, yang terus kita tunggu, tatanannya kembali stabil.
Tanpa sadar, manusia saling berlomba akses untuk kembali ke alam dan lingkungan. Seperti percepatan progam vaksin yang di upayakan pemerintah. Menuntut semua manusia berperan aktif dalam mengembalikan kekuatan lingkungan. Namun sisi lain, di tingkat relasi manusia, kita bisa amat dilematis dan sensitive kepada mereka yang tetap bisa mengakses lingkungan di masa pandemi. Bagai taka da Covid. Atas nama lebih ‘mampu’ dan saya lebih ‘sehat’.
Sikap manusia itu sendiripun menjadi pandemi bagi manusia lainnya, yang berdampak pada lingkungan, dan mengancam. Salah satu yang menguat hari ini, adalah isu pengendalian produk tembakau, yang sebenarnya sudah disadari dampaknya sangat berhubungan dengan Pandemi Covid. Bahkan sudah sedari dulu kita berusaha mengendalikan dan membatasinya. Tetapi realitanya kita bagaikan hanya bisa merayakannya setiap tahun? Tanpa bisa mengendalikannya. Ini dinyatakan Bappenas dengan angka prevalensi merokok yang semakin tinggi, apakah juga selama pandemi produksi rokok lebih tinggi lagi? Hanya angka cukai yang bisa membongkarnya.
Pidato Menteri Kesehatan pada Hari Pengendalian Tembakau Sedunia menyatakan konsumsi rokok tidak sebanding dengan dampak pandemi yang harus di selamatkan Negara. Tapi realitanya, pernyataan ini, lebih seperti jalan kebijakan bunuh diri. Dengan keringnya upaya kebijakan melawan prevalensi data perokok yang terus meningkat. Harusnya Negara segera merevisi Peraturan Pengendalian Tembakau yang sebenarnya sudah ada di meja legislasi, tapi tidak mudah di syahkan. Apalagi dengan berlakunya kenaikan cukai baru, yang mempersyaratkan dukungan regulasi, kepada sektor terberat dari dampaknya. Terutama para perokok, perempuan, anak dan penyakit akibat pandemi rokok. Berapa banyaknya tempat rehabilitasi rokok dengan dibanding kenaikan prevalensi data perokok? Ini masih jadi pertanyaan besar dalam komitmen mengurangi dampak pandemic rokok. Bukankah? Terasa amat penting pada pertarungan nyawa manusia di masa dunia melawan Covid, untuk mengurangi segala faktor akibat pernafasan.
Tetapi nampaknya kita lebih sibuk berkonfrontasi atas dampaknya, dibanding menguranginya. Bahkan konsumsi tembakau dinyatakan meningkat, dengan data prevalensi merokok yang tinggi. Yang penampilan datanya di rilis tiap tahun oleh Negara. Kita seperti anjing yang diminta mengongong, tanpa bisa mengigitnya. Tentu ini bukan satu satunya penyebab hutang peradaban kita atas lingkungan, tetapi penting sebagai penjaga lingkungan, kita sepakat mengurangi dampak bencana Covid ini.
Memang tidak mudah melawan pandemi Covid yang menyerang pernapasan saat ini, pemerintah dengan segala upaya, bahkan segala cara mengingatkan setiap warga Negara, dalam rangka punya hak yang sama untuk sehat di Negara ini. Di antaranya berusaha menciptakan kekebalan lingkungan dengan percepatan program vaksin. Namun di balik itu, ada pengembosan dari dalam dengan hadirnya pandemi rokok alias tembakau yang sudah menyerang mengerogoti anggaran Negara, dalam mengatasi wabahnya, sebagaimana tersirat dari pidato Menteri Kesehatan. Dengan hasil penelitian yang mendaftar rentetan penyakit yang datang belakangan akibat dampak pandemi paparan asapnya. Bahkan seperti kebijakan jalan buntu.
Namun memang tidak mudah bicara soal perusakan lingkungan, sebagai hutang peradaban terberat manusia. Karena kita disajikan media tentang catatan pengusaha terbesar di Indonesia adalah bisnis rokok, yang bertemali dengan besarnya angka pekerjanya dan penggunanya, dalam meraih top teratas orang terkaya. Meski sang pengusaha rokok tersebut, sudah mengatakan di media detik.com bahwa jangan merokok. Tapi sekali lagi, kata Pemerintah tidak sebanding dengan dampak yang diberikan. Lalu?
Ada juga yang mengatakan rokok berjalan seiring sejarah manusia ada, dengan atas nama mengisap asap sebagai simbol perdamaian. Namun tidak banyak yang mempopulerkan, bahwa didalamnya tersirat tentang pesan nenek moyang kita, yang sebenarnya tentang cerita manusia lokal menjaga hutan, alam dan lingkungan. Kita gagal memahami simbol asap perdamaian itu.
Pancasila sebagai landasar dasar dan pegangan hidup bersama di Indonesia merupakan warisan sejak nilai nenek moyang kita mengajarkan, yang itu diserap pada masanya, menjadi nilai nilai yang di abadikan founding fathers kita. Mulai dari sila pertama sampai kelima, mengandung sarat makna menjaga alam nusantara tentang manusia melakukan perhargaan tertinggi kepada lingkungan dengan menyatakannya sebagai cara pandang hidup menjaga lingkungan alam Indonesia. Dengan prinsip saling menjaga, gotong royong, menghargai, melestarikan dan musyawarah. Namun alih alih penataran itu diberikan Pancasila, namun begitu mudahnya nilai nilai Pancasila tergerus dan menjadi ahistoris untuk bangsanya sendiri, yang berdampak pada perusakan lingkungan.
Mengajarkan nilai nilai Pancasila bukan hal mudah untuk anak bangsanya sendiri, ditengah berbagai pertarungan ideologi yang memiliki cara dan metode pengajaran yang lebih kekinian. Penanaman nilai Pancasila menghadapi lahan yang sempit dan tidak popular. Lembaga BPIP bertarung sendirian, bak bagai tenggelam di tengah pertarungan ideologi yang muncul, yang bisa dirasakan kentalnya pada pertarungan Pemilu belakangan, yang mempresentasikan kebanyakan perasaan anak bangsa kita, ya di Pemilu, jelas menyatakan itu.
Pertarungan Pancasila di dalam pertarungan gelanggang ideologi, seperti kalah duluan sebelum bertanding. Tapi teriakan di bawah, lebih seperti jutaan tangan yang berusaha menggapai menara gading yang bernama ideologi Pancasila. Dengan keinginan adanya keadilan dibawah, pembelaaan kepada mereka yang papa atau rentan atau mustadhafin tak berpunya.
Harapan itu masih ada, dengan kemenangan Pemilu yang lebih sarat dimenangkan oleh partai berideologi berbasis Pancasila dibanding lainnya. Tapi kenapa buih pinggirnya, seperti di perlihatkan sebagai Negara yang digembosi dan memelihara anak macan, yang siap menerkam dan merongrong kehidupan ber Pancasila. Karena sangat sensitive di Negara yang terdiri atas berbagai unsur ini, bila yang di robek keberagamannya, bukan unsur pelekatnya dalam menerima keberagaman itu sendiri.
Sebagai ulahnya, berbagai akar masalah berbangsa dan bermasyarakat seperti jadi benang yang tak pernah bisa dirajut. Kita lebih nampak sebagai bangsa yang kehilangan figur, menatap masa depannya sendiri. Kesepakatan Pancasila tidak ditegakkan, tetapi dibiarkan doyong, ‘miring’ ke tempat mereka yang menafsirkannya secara bebas. Padahal dengan kemenangan partai partai berideologi Pancasila, harusnya ditangkap mereka, bahwa banyak anak bangsa yang masih percaya. Apakah ada yang salah penafsiran? Sehingga menjalankan amanah Pancasila, menghadapi musuh diri sendiri, seperti saat pertarungan makna Pancasila dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila. Artinya ada pengajaran Pancasila yang perlu di koreksi dan selanjutnya di persegar, dalam menjawab ahistoris kelahiran Indonesia itu. Agar cara pandang hidup bisa di pertahankan. Bukan membiarkannya.
Kenyataan itulah, membawa kita, berada dalam hidup dampak lingkungan vs perebutan lingkungan, yang nyatanya membawa grafik kematian tertinggi di dunia saat ini. Yang membuat tidak sehat kehidupan berbangsa, kita harusnya lebih ketakutan kehilangan cara pandang hidup bersama, di banding saling merebut tafsir kebenaran diatas kebenaran. Karena kenyataannya kita sedang memberi dampak pandemi generasi selanjutnya.
Yang hari ini kita perebutkan, atas nama, bertarung ideologi dan cara pandang itu, yang sebenarnya sedang saling rebut lahan lingkungan yang ramah, yang semakin sempit itu, lahan subur penanaman Pancasila. Dengan semakin sempitnya lahan subur Pancasila yang merupakan keramahan cara hidup bersama, dan alami, atas nama menjaga lingkungan dan cara hidup.
Perebutan itu membawa perilaku yang sesungguhnya tidak berarti. Tentunya perebutan itu akan terus diserang pandemi dan pandemi yang menjadi lahan varian varian baru terus tumbuh subur, dan menyebabkan kita menghirup Pancasila dengan sesak.
Ini bukanlah untuk kita sesali atau pesimis, tapi dunia membutuhkan perubahan quantum atau perubahan lompatan generasinya, dalam menyadari dan untuk mensejajarkan diri dengan kerusakan yang telah dibuatnya.
Kita sebagai generasi Pancasila harus sadar seutuhnya, harus mulai mengarah atau merubah cara berfikir, dengan sempitnya lahan penanaman nilai nilai Pancasila itu. Mungkin benar kata orang tua kita, manusia adalah tempat salah dan lupa. Tapi bukan berarti kita terlambat, perlu siuman dan membangun kesadaran kolektif, dalam membuat pupuk yang lebih subur untuk penanaman nilai nilai Pancasila agar kembali tegak untuk generasi Pancasila selanjutnya.
Tak ada waktu lagi untuk manusia saling berebut, counter atas counter, wacana atas wacana, truth atas postruth. Karena pilihannya adalah kesadaran kolektif. Agar Indonesia tetap rahmat untuk semua, sebagai mana indahnya sebutan ‘Indonesia paru paru dunia’, dimana semua orang di dunia bisa menghirupnya. Selamat Hari Pengendalian Tembakau dan Selamat Hari Lahir Pancasila. Selamatkan Lingkungan dimulai dari Selamatkan Ideologi Cara Pandang Hidup Berbangsa.
Salam Hormat,
Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAI
Hp. 0821 1219 3515
