Bagikan Juga

Sepanjang 2021 KPAI menerima 5.980 pengaduan dan 2022 ada 4.683 pengaduan persoalan anak. Yang diantaranya ada perbuatan hukum yang dilakukan anak. Tentu datanya ini sangat mengkhawatirkan. Terlebih, saat ini ada banyak sekali kekerasan yang mengintai anak-anak di internet, seperti cyberbullying, adiksi gaming, adiksi socialmedia, grooming, sextortion, pornografi anak, penetrasi atas kecenderungan anak di industri viral yang menjadi problematika eksistensi anak. Karena rata-rata anak Indonesia berselancar di internet selama lima jam per hari. Berkaca dari kasus ini, dari fenomena berbalas komentar di social media yang berujung perkelahian dengan senjata tajam.

Dari pengalaman KPAI melihat berbagai hasil assessment dalam persoalan anak, menunjukkan latar belakang berbagai penyebab anak berada dalam pusaran konflik, berhadapan dengan hukum, berkonflik dengan hukum, terancam jiwanya dan mengalami disorientasi akibat perlakuan salah, adalah dengan hilangnya hak hak mereka, karena kebutuhan tumbuh kembang yang harusnya di dapatkan tetapi tidak dapat terpenuhi dengan baik.

Penyebabnya adalah akibat kurang perhatian, kehilangan figur yang dipercaya, yatim piatu, putus sekolah bahkan meski sekolah tapi kondisi belajar nya sudah tak terperhatikan, orang tua bercerai, konflik berkepanjangan, kemiskinan, terlepas dari pengasuhan, rentan terlepas dari orang tua, berpindah pindah pengasuhan, berselancar di internet tanpa pengawasan dan banyaknya industri kekerasan yang dengan mudah mendekati anak dengan berbagai cara.

Bahwa apa yang terjadi pada anak hari ini, adalah bukan penyebab utama, ada rentetan peristiwa, ada proses panjang sebelumnya, kumpulan berbagai trauma, yang tidak terselesaikan dan menimbulkan kekecewaan mendalam. Bahkan ketika orang dewasa merasa sudah menyelesaikan permasalahan anak, tapi yang dirasakan anak sebaliknya, belum selesai. Hal itu terbukti, dengan mengukur pasca perbuatan anak terlibat dalam persoalan hukum. Disanalah kita baru sadar, bahwa apa yang selama ini kita berikan sebagai solusi, tidak menjadi pesan yang bermakna, pesan positif untuk anak.

Makanya KPAI selalu mengajak orang tua untuk melindungi anak sampai mereka merasa di lindungi, menyelesaikan masalah anak sampai mereka merasa selesai, mencintai anak anak sampai mereka benar benar merasa di cintai, memenuhi kebutuhan anak sampai mereka merasa di butuhkan. Jadi semua yang di lakukan berorientasi kepada kepentingan terbaik anak.

Karena bila itu tidak terpenuhi dengan baik, maka banyaknya peristiwa kekerasan yang terlaporkan terjadi pada anak, baik anak sebagai pelaku atau korban kekerasan, menyatakan wajah kekerasan menjadi menu sehari hari anak dalam menjawab kebutuhannya. Menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan, menjadi pemandangan biasa untuk anak-anak kita.

Karena kita tahu anak anak belum dapat mengendalikan emosinya secara baik, karena emosinya lebih terisi mudah panik, mudah takut, dan reaktif berlebihan. Sehingga seringkali ujungnya sangat beresiko tinggi pada anak anak. Karena secara fisik mereka mudah dikuasai, secara pemahaman mudah dibelokkan, dan secara emosional mudahterpengaruh atau terprovokasi.

Mengenali anak anak yang termudah terlibat dalam kekerasan, diantaranya dapat dilihat dari sikap mereka, seperti berteman yang tidak sehat, sikap mau menang sendiri, mendominasi, tentu ini menjadi hal yang tidak bisa dibiarkan. Untuk itulah penting pendidikan anti kekerasan untuk keluarga, sekolah dan lingkungan terutama menguatkan peran anak dalam mengurangi dampak kekerasan.

Masalah paling hulu dari kondisi ini, adalah Anak anak yang terlihat sangat minim dikenalkan cara berpartisipasi, ketika dalam menghadapi persoalan di sekitarnya. Tentu saja yang di maksud disini adalah partisipasi yang bermakna, yang dipahami sesuai usia, tumbuh, kembang dan pemahamannya. Ruang dialog keluarga harus selalu dihidupkan, orang tua menjadi teman anak anak remajanya. Sehingga dalam menghadapi masalah mereka memiliki kecerdasan emosional dalam menyalurkannya.

Bahwa ada kelalaian pada perlindungan, pengawasan dan pengasuhan yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana berat. Artinya pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak harus terus menjadi upaya untuk mengurangi angka kekerasan anak, dan memastikan programnya terus berlanjut, agar tidak membuat anak jadi korban berlapis. Atau mewarisi kekerasan, sehingga penanganannya harus benar benar tuntas.


Ketika banyak orang yang geram atas berbagai peristiwa kekerasan, menuntut anak anak mendapatkan efek jera, pengawasan luar biasa untuk mempengaruhi kasusnya, tekanan social media, tekanan industri media terhadap kasusnya, tekanan masyarakat terhadap kasusnya. Akan menjadi sia sia. Ketika program pemasyarakatan melalui LPKA dn LPKS sudah melakukan rehabilitasi dengan sangat baik , namun ketika anak di reintegrasikan kembali ke lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Justru suasana disanalah yang belum berubah. Sehingga anak anak setelah dipulangkan dari proses pidana, masih menghadapi situasi yang sama.

Anak anak memiliki energinya yang sangat besar, tapi anak anak juga merupakan generasi yang tidak mudah mengekspresikan kekecewaan dan kesedihan, akhirnya pelampiasan bisa mencelakai tubuhnya sendiri atau orang lain. Nah kalau sudah begini, apakah sekolah mau tahu, lingkungan mau tahu?


Namun bila bisa dipetakan lebih lanjut, anak melakukan perbuatan melanggar hukum, bisa di sebabkan banyak hal., terutama motivasi perbuatannya.

Pertama, karena Anak belum mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini dikarenakan seringkali perbuatan melanggar hukum anak, didasari banyak hal, bisa dibawah tekanan atau ancaman, ketergantungan sesuatu, tuntutan eksistensi, keterbatasan ekonomi, ketelantaran, kurang perhatian, penangananannya tidak masalah selama ini tidak sesuai, anak kehilangan figur karene berbagai sebab kondisi keluarga, lemahnya pengetahuan soal agama dan moral, kesiapan mental melihat perubahan di sekitar anak, mendapatkan perlakuan salah dan dukungan tumbuh kembang yang tidak terpenuhi dengan baik.

Kedua, Anak memiliki 3 lingkungan dalam hidupnya, keluarga, sekolah dan lingkungan. Ketika satu lingkungan saja tidak berfungsi dalam membangun kedekatan, kelekatan, pengawasan bersama dan monitoring. Maka anak akan sangat rentan anak berada dalam perlakuan salah. Sehingga kita di KPAI sering menyebut Sekolah adalah keluarga kedua dan lingkungan adalah keluarga ketiga untuk anak.

Ketiga, Kita juga bicara peran besar pengasuhan bersama, karena mengurus anak butuh orang sekampung ikut mengawasi. Selain itu keterbatasan yang ada, dapat diatasi dengan penyediaan fasilitas publik yang dapat mendukung tumbuh kembang anak dan ada sebuah tempat pusat aktifitas anak yang dapat secara kondusif, merekam dan memantau perkembangan anak anak kita.

Untuk itu KPAI sering meningatkan pentingnya RUU Pengasuhan Anak segera di syahkan, karena situasi pengasuhan anak di jaman sekarang sangat beragam, ada kebutuhan untuk memastikan dukungan tumbuh kembang dalam pengasuhan berlangsung dengan baik.

Keempat, Persoalan mengisi waktu luang juga masih menjadi persoalan utama anak. Maksud mengisi waktu luang disini adalah, mereka melakukan sesuatu memiliki tujuan, ada pendamping, kalau di hobby atau minat ada pelatihnya, ada yang menerjemahkan menjadi pesan bermakna, sarat moral dan nilai nilai seperti psikolog atau tokoh agama. Karena salah satu hak anak yang melekat adalah hak berpartisipasi bermakna dalam mengisi waktu luangnya (yang penuh rasa aman, dihargai dan tidak merasa di rendahkan)

Karena pendidikan anak ini soal rasa, suri tauladan dari generasi peniru ulung kita ya, karena mereka bukan pendengar yang baik. Jadi bila ada orang tua yang terjebak masih bicara keras, berbusa busa, sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan, karena anak anak kita bukan pendengar yang baik, tapi peniru yang ulung.

Karena fenomena kekerasan adalah warisan dari kekerasan dan trauma sebelumnya. Dari survey yang dilakukan ketika orang tua ditanya, kenapa melakukan kekerasan di rumah, karena itu dilakukan orang tuanya dahulu. Begitupun ketika guru ketika ditanya, kenapa melakukan kekerasan di sekolah, jawabannya adalah ini pola dulu, waktu ia menjadi anak dan belajar.

Untuk itulah asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang berisi 10 point, menyatakan di point 7 tentang pentingnya pasca peristiwa anak berkonflik dengan hukum mendapatkan pembinaan dan pembimbingan anak, agar mereka menyadari perbuatannya. Tentu saja dalam masa menjalani proses pidana nanti, menjadi tolak ukur, sejauh apa anak anak patuh dan mengikuti pembinaan dan pembimbingan yang dijalani.

Di sinilah penuntasan, proses pemeriksaan anak atau menjadi pendamping kasus anak, ada hal terpenting yang harus diperhatikan, sebelum masuk ke kasusnya, yaitu membangun rasa percaya anak, kenyamanan anak, orang yang di depannya bisa dipercaya dan menghindari figur yang berganti ganti dalam penanganan. Kemudian memahami kondisi pengasuhan anak, karena seringkali anak anak yang terlibat dalam hukum, di karena kan mereka mengalami pengasuhan yang berpindah pindah. Karena bagi anak itu sangat membingungkan, akibat penerapan standar setiap pengasuh dan cara mengasuh berbeda beda.

Sehingga bisa tergali dan terungkap banyak hal, bisa terjalin rasa memahami, dari kepercayaan ada kejujuran, yang dapat mengarah terbangunnya kelekatan antara penyidik, peksos, psikolog, konselor, guru, pendamping dan relawan. Sehingga kualitas penanganan dan pendampingan dapat diukur keberhasilannya dengan baik.

Tentu idealnya adalah mencegah sebelum terjadi ya, sehingga lebih banyak mendorong semua yang terdekat anak, untuk membangun kapasitas diri dalam menghadapai semua permasalahan anak. Tapi kenyataannya kita seperti berkejaran dengan waktu, antara korban dan keinginan memperkuat anak dan orang tua

Tentu keinginan kita semua, anak hidup dalam kegembiraan, keceriaan, kekreativitasan, dan keaktifan dari masing-masing anak. Namun pada kenyataannya banyak tangan tangan tidak bertanggung jawab yang merenggut ini semua dari anak

Untuk itu sinergi dan kolaborasi dari multisektor untuk bersama-sama memerangi kekerasan terhadap anak dan memastikan hak-hak anak terpenuhi demi mencapai Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045 menjadi hal utama dan pertama, dalam bersama sama menghindari ancaman di sekitar anak.


KPAI juga mendorong kepada anak-anak di seluruh Indonesia untuk terus dibangun kapasitas bersuara, menyampaikan aspirasi, berani menyampaikan masalah masalah kritis, ikut berperan aktif dalam penguarangan resiko kekerasan dan bencana, mensosialisasikan bersama segala bentuk peraturan yang melindungi anak-anak,

Untuk meningkatkan efektifitas pengawasan anak di social media, penting sekali kita mulai berfikir memiliki panduan digital parenting. Begitupun anak anak di berikan pemahaman berselancar di internet yang sehat dan tidak mengancam diri sendiri. Agar setiap keluarga, sekolah dan lingkungan mulai dapat membenahi pelan pelan persoalan anak anak melakukan kekerasan akibat interaksi di social media.

Terakhir, mengajak anak anak untuk mau menjadi Pelopor dan Pelapor (2P), karena tanpa keduanya itu, kita akan sulit menghentikan kekerasan di sekitar anak.


Salam Hormat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515


Bagikan Juga