Tidak ada mantan anak, yang ada hanya lah mantan istri atau mantan suami. Lalu bagaimana nasib mantan anak anak yang berada dalam pengasuhan orang tua tunggal atau terlepas orang tua? Luka fisik dapat di cari obatnya, tetapi luka jiwa sulit diukur kedalamannya, luka jiwa sulit dicari obatnya, luka jiwa perlu di selami berkepanjangan untuk menyembuhkannya.
Anak anak yang terancam berpisah, sebenarnya kondisinya sudah kehilangan perang orang tua, sehingga statusnya sama bagaikan Anak Yatim atau Anak Piatu. Namun dalam berbagai ajaran agama, anak anak adalah anugerah dari Tuhan, apalagi jika kemudian di pisahkan orang tua, dalam agama disebutkan anak anak ini memiliki han anak yang sangat istimewa, disamping memiliki hak-hak sebagaimana anak-anak lainnya, yaitu perlindungan anak, pengasuhan yang melekat dan tidak mendapatkan kekerasan atau bentakan. Karena Tuhan melanjutkan ketika itu terjadi, maka manusia disebut sebagai pendusta agama.
Artinya perlindungan dan pengasuhan anak dari orang tua yang terpisah, tidak hanya tercermin dari putusan dengan memberi tanggung jawab nafkah dari orang tua yang berpisah. Apalagi hanya sekedar bantuan bantuan keuangan, makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan gratis. Karena amanah Tuhan lebih tinggi dari itu semua, yaitu memuliakan, mendapatkan pengasuhan permanen dan mengarah kepada pengasuhan berkelanjutan tanpa kekerasan.
Meski Negara sudah memiliki kebijakan yang baik, masyarakat punya pandangan yang baik kepada anak anak yang terpisah dari orang tua, Namun kalau merujuk dari perintah Tuhan belum benar benar menyentuh pada esensi atau kebutuhan seutuhnya. Sehingga jika kita tidak serius menangani anak anak yang terpisah, atau anak yang sebenarnya sudah yatim ini, maka Indonesia akan banyak melahirkan SDM yang lemah, terutama kejiwaannya yang terus tergoroti akibat sulit memahami perpisahan orang tua.
Menghadirkan dua pribadi yang berbeda dalam biduk rumah tangga, memang tidak mudah. Ketika rasa saling mengerti, memaklumi, memahami itu tergerus. Tanpa ada yang berperan sejak awal menjadi penengah, mediator, figur, teladan, untuk pasangan. Maka seringkali konflik berkeluarga bukan semakin menyatukan, justru membuat jurang perpisahan.
Dan yang paling berat menanggung semuanya itu, sepanjang hidup, apalagi perpisahan itu tidak disertai kesepakatan yang baik, maka yang menanggung seumur hidup adalah anak anak. Inilah yang terjadi pada anak anak yang mengalami begitu cepat kehilangan orang tua, baik karena perpisahan, karena sakit tertentu, meninggal karena pandemic, kecelakaan, atau orang tua menikah lagi. Yang dampak ikutannya sangat panjang, dan ujungnya menggerus jiwa anak anak yang ditinggalkan. Karena berpindah pindah pengasuhan itu tidak mudah dipahami anak, membingungkan, karena penerapan yang berbeda beda.
Kalau surat catatan sipil, surat ijin, selalu ada masa perpanjangannya, bahkan di tes lagi, seperti SIM, STNK, KK, KTP. Namun hanya BUKU NIKAH yang tidak ada perpanjangan, apalagi di tes lagi. Padahal untuk perpanjangan surat ijin profesi, atau catatan sipil, surat ijin mensyaratkan banyak hal, agar penggunanya surat tersebut terbukti layak mendapatkannya kembali. Namun kenapa untuk BUKU NIKAH, Negara tidak mengintervensi pendidikan keluarga dan pengasuhan? Meski ada pendidikan pra nikah, tetapi sangat jauh dari cukup.
Catatan pengadilan agama dan pengadilan negeri tentang perceraian, terutama saat pandemic, sangat luar biasa. Angkanya terus meningkat. Bahkan angka perceraian capai 500 ribu orang pertahun, Menurut Dirjen Bimas Islam dalam webiste kemenag.go.id. Begitupun yang terjadi di masa pandemi, media banyak memberitakan soal meningkatnya angka perceraian. Yang sebenarnya kita sedang menciptakan loss generation, mereka yang kehilangan separuh jiwa, yaitu anak anak.
Salah satu dampak besar yang menimpa dari gagalnya lembaga keluarga adalah perempuan, karena konstruk social kita masih menempatkan perempuan sebagai korban yang dipermasalahkan akibat perceraian. Padahal mereka korban tetapi di permasalahkan. Seringkali pertimbangan perceraian, dalam pengurusan anak, perempuan yang dianggap paling bertanggung jawab. Maka bayangkan ketika perceraian atau perpisahan itu, saat perempuan dalam kondisi mengandung buah hati mereka. Tentu sejak dalam kandungan akan menjadi serangan soal kejiwaan pada anak. Dan ketika terlahir akan terbawa dan menjadi ancaman.
Meski dalam berbagai agama, perceraian adalah perbuatan yang sangat tidak di suka Tuhan, namun semua masih terjadi. Kemudian yang jadi persoalan penting dan menjadi focus solusi dari gagalnya sebuah lembaga keluarga, yang utama adalah anak anak yang akan ditinggalkan mereka.
Untuk itulah, bila benar peristiwa yang terjadi kepada pasangan selebritis, sejak mengandung sampai melahirkan mengalami ancaman perceraian, akan terbayang oleh kita semua. Bagaimana persoalan kejiwaan ini akan berdampak berkepanjangan kepada fisik ibu dan anaknya. Apalagi memiliki beberapa anak.
Anak anak tidak mudah memahami dalam ketidaktahuannya. Yang mereka tahu adalah pemikiran positif dan menerimanya secara positif. Sehingga kejiwaannya cenderung tidak siap menerima yang negative, diantaranya perpisahan orang tua. Karena bagi anak, bapak adalah tetap ayahnya, ibu adalah tetap bundanya. Meski orang tua menganggap mereka sudah terpisah.
Melihat data perceraian, perpisahan, perselingkuhan, penelantaran anak, maka dapat di artikan jutaan anak Indonesia terancam pengasuhannya, yang akan berdampak lanjut ke persoalan kejiwaan, dan berujung kepada serangan fisik berbagai penyakit. Di balik peristiwa ini juga, menyebabkan hadirnya beragam cara pola mengasuh anak, baik yang memiliki standar baik atau buruk.
KPAI selalu mengingatkan pentingnya Negara memiliki payung kebijakan pengasuhan anak, karena kebijakan yang ada baru perlindungan anak. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Namun memiliki titik tekan yang berbeda, dalam menyelamatkan anak anak. Karena ketika pengasuhan anak tidak bisa di deteksi sejak dini di keluarga. Maka jangan salahkan situasi anak anak kemudian tidak terselamatkan, menjadi korban berbagai hal, terjebak di industri candu, terjerumus mengkonsumsi obat terlarang, berubah orientasi seksual, dan lain lain.
Dan ketika kita berteriak persoalan, berabgai penyakit di masyarakat atas situasi berkepanjangan ini, lalu kita dianggap, dimana saja selama ini, dalam mengantisipasi sejak anak masih kecil, masih dalam kandungan, masih tumbuh kembangnya membutuhkan intervensi yang tepat, pertanyaannya sekali lagi, Kita ada dimana?
Untuk itu RUU Pengasuhan Anak menjadi sesuatu yang tidak bisa ditunda, dalam menjawab menyelamatkan korban pengasuhan dari orang tua yang berkonflik atau yang berpisah dan meninggalkan persoalan jiwa anak anak. Karena situasi perpisahannya, ada anak yang masih berada dalam kandungan, ada yang terlantar, ada anak yang dalam penguasaan orang lain dan lembaga, ada yang berpindah pindah pengasuhan, sehingga menjadikan anak anak menjadi berbagai korban dan berbagai bentuk sebutan kondisi anak di masyarakat, akibat perceraian, perselingkuhan, perpisahan, ketiadaan pencacatan pernikahan.
Pengasuhan Anak yang selanjutnya disebut Pengasuhan adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik Anak yang dilaksanakan baik oleh Orang Tua, Keluarga Sedarah, Orang Tua Asuh, Wali, Orang Tua Angkat, Lembaga Pengasuhan dan pihak lain termasuk perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran
Seringkali ada salah kaprah, pengasuhan yang tidak hadir, kemudian diganti berbagai alat gadget, online, game. Padahal dalam penelitian kami, pengasuhan tidak bisa digantikan oleh apapun. Kecuali di sistem yang direkayasa alami, seperti keluarga, pengasuhan berbasis keluarga, berkelanjutan, berkepanjangan serta permanen.
Karena mereka butuhnya perhatian, dengan memperhatikan tumbuh, kembang, usia dan pemahaman. Karena ada kebutuhan yang berbeda beda dari setiap tahap perkembagan anak. Perhatian diatas segalanya, karena mereka adalah insan yang fisiknya mudah dikuasai, pemahamannya mudah di belokkan, dan emosionalnya mudah di provokasi. Dan ketika gagal Negara, keluarga, pasangan, masyarakat, pemerintah mengintervensi maka kita akan menghadapi ancaman hilangnya generasi, dengan hadirnya berbagai masalah yang sangat problematik pada anak, dan diluar nalar kita semua.
Oleh karena itu butuh payung kebijakan yang komperhensif, seperti RUU Pengasuhan Anak. Sehingga ketika anak anak yang sudah berpindah pindah ini, tidak memiliki standard pengasuhan, panduan rekam pengasuhannya selama ini. Ketika anak berhadapan dengan berbagai proses di kehidupannya, seperti pendidikan, hukum, di kepolisian, di orang tua yang berpindah, akan semakin tidak bisa menjamin atau mengurangi persoalan anak, apalagi meminimalisirnya, karena selalu jatuh dalam tangan yang salah, yang tidak paham dan tidak ada lapisan perlindungan untuk menjawab kerentanan anak.
Untuk itulah, pengalaman dari berbagai Negara, yang berinvestasi besar untuk pengasuhan anak perlu di tiru. Pentingya ada lembaga khusus yang berperan mengawasi pengasuhan anak, memindahkan anak ketika orang tua berkonflik, mengambil anak ditengah orang tua berkonflik, menghormati lembaga dank ode etik berkeluarga, menciptakan ruang aman anak dalam perebutan kuasa asuh untuk mendapatkan akses bertemu kedua orang tuanya (meski hanya sesekali). Hal itu semua dilakukan dalam rangka dalam meminimalisir persoalan kejiwaan yang akan terus memburuk dan berdampak mengerikan pada anak anak kita. Seperti yang kita saksikan sekarang pada berbagai persoalan anak.
*Ancaman Perebutan Kuasa Asuh Anak*
Kembali ke persoalan ancaman perpisahan, dampak panjangnya adalah perebutan anak, karena bagaimanapun tidak terhindarkan jalinan emosi yang kuat antara anak dan orang tua, namun dalam kondisi terpisah. Sehingga terjadi perebutan kuasa asuh.
Berbagai kasus perebutan kuasa asuh, seringkali berdampak buruk pada anak, terutama dalam perkembangan emosi mereka. Bahkan dapat menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa berat. Yang itu akan berdampak sangat buruk untuk anak. Untuk itu para orang tua yang berkonflik atas kuasa asuh, sangat penting menyadari hal ini.
Salah satu pertimbangan yang paling penting, sebelum menjalankan tahapan proses perebutan kuasa asuh adalah anak berada dalam perlindungan figur yang membuat anak nyaman. Agar mengurangi konflik di sekitar anak. Karena anak penting mendapatkan lingkungan yang mendukung emosi positifnya.
Setiap anggota keluarga dalam tahapan penyelesaian perebutan kuasa asuh, harus mendapatkan konseling secara rutin. Agar kondisi psikologisnya dapat dipantau dengan baik.
Oleh karena itu hukum di Indonesia, dalam perebutan kuasa asuh, menghindari proses legal formal hukum, dan lebih mengutamakan kepentingan terbaik dari masing masing keluarga. Karena hal inilah yang dipandang Indonesia akan menjadi pengarusutamaan kepentingan terbaik anak.
Sebagaimana yang diinginkan semua pihak yang sedang dalam situasi konflik. Dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak kami menyebutnya dengan Restoratif Justice. Namun kami menetapkan waktu dalam penyelesaian Restoratif Justice agar anak bisa segera di selamatkan dari dampak buruk perebutan kuasa asuh. Juga pertimbangan kebutuhan tumbuh kembangnya yang tidak bisa di tunda.
Namun bila dalam perebutan kuasa asuh, salah satu pihak bersikeras, Aparat Penegak Hukum disarankan memberi efek jera kepada salah satu pihak dengan Pidana Percobaan. Pilihan ini, dengan mempertimbangkan situasi yang dapat semakin buruk dialami anak jika dibiarkan. Yang didalam pelaksanaannya harus memantau kondisi psikologis anak, bila mengetahui ayahnya berada dalam pidana percobaan.
Selain itu, Restorative Justice juga mempersyaratkan pelaku meminta maaf dan berjanji merubah perilakunya, serta korban memaafkan, dengan menandatangani surat pernyataan, yang disaksikan Aparat Penegak Hukum dan beberapa profesi sebagaimana tercantum dalam UU SPPA. Agar hasil pelaksanaan Restorative Justice tersebut dapat dipantau dengan baik dan di laporkan kembali kepada Aparat Penegak Hukum. Namun bila tidak terjadi kesepakatan Restorative Justice, maka kasusnya akan di uji di pengadilan
Seiring prosesnya, perebutan kuasa asuh, sulit mencari penyelesaian yang ideal, karena sebagaimana dampak ikutannya, yaitu anak mengalami gangguan kejiwaan dari ringan sampai berat. Untuk itu masih masing pihak yang berada dalam situasi konflik, perlu sesadar-sadarnya, apakah prosesnya semakin membuat nyaman untuk anak atau lebih buruk buat anak.
Maka Konvensi Hak Anak dan Undang Undang Perlindungan Anak menyatakan anak berhak bertemu dengan kedua orang tuanya, demi tumbuh kembang anak yang menghindari pertumbuhan kejiwaan yang buruk. Jadi apapun keputusan inkrah dari proses persidangan, maka siapapun pemenang kuasa asuh diwajibkan menjadi fasilitator pertemuan dengan anak.
*Dampak Positif Menyelamatkan Pengasuhan Anak Dari Orang Tua Yang Terancam Berpisah*
Undang Undang Perlindungan Anak berbicara tentang Hak Pengasuhan Anak, tapi tidak hanya sekedar itu, tetapi bagaimana menerjemahkan mereka mendapatkan standar hidup yang layak (Child’s right to an adequate standard of living), yang terdiri dari: perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Standar kehidupan anak yang layak ini mustahil tercapai jika anak mendapatkan hardikan/bentakan atau kekerasan dari pengasuh atau siapapun yang bertanggungjawab mengasuh anak.
Karena anak yang terpisah dan mendapatkan kesulitan hidup, akan cenderung mendapatkan kekerasan, hardikan, bentakan, akibat masalah yang dihadapi orang tua tunggal. Jangan dilihat anak terjamin karena orang tuanya kaya atau mampu, tetapi kembali lagi persoalan kejiwaan menjadi persoalan utama yang akan di hadapi anak sehari hari. Bahkan kekerasan, bendakan, hardikan itu tidak bersuara, tapi berteriak keras di dalam jiwa anak yang akan sangat berdampak buruk ketika tidak terpantau sejak awal, seperti rentan berperilaku menyimpang karena mengalami kecerdasan psikososialnya, emosi, mentalnya yang lemah. Mereka anak anak ini mengalami penderitaan batin yang sulit terungkap, sehingga mudah tertekan dan sangat sensitif.
Maka terbayang ketika mereka kurang beruntung, dan berpindah pindah pengasuhan, dititipkan, di pisahkan, dengan kemudian sering mendapatkan perlakuan salah, seperti diperlakukan kasar, dibuli, dihina, dipukul, di intimidasi pengasuh penggantinya, maka sebenarnya anak peniru yang baik bukan pendengar atau pemebelajar, yang akibatnya mereka juga akan melakukan hal yang sama perlakuan terhadap teman sebayanya atau orang lain. Selain itu mereka juga menjadi pribadi yang kecewa/tersinggung terhadap teman sebayanya merupakan anak yang sering tertekan jiwanya.
Sehingga pencatatan perpindahan anak menjadi sangat penting, agar ada pengkondisian alami seperti yang anak alami di keluarga sebelumnya. Saya juga mewanti wanti kepada orang tua yang memiliki anak, kemudian memberikan hak pengasuhan kepada saudaranya yang tidak memiliki anak. Karena dari keterpisahan adik dan kakak ini, dalam pengalaman kami, akan mendapatkan persoalan kejiwaan berkepanjangan untuk anak, karena perlakuan yang berbeda, padahal mereka sedarah.
Untuk itu sekali lagi kebijakan payung pengasuhan melalui RUU Pengasuhan Anak sangat strategis dan penting, untuk investasi generasi yang maju dan unggul di masa depan. Dan prasyarat itu, harus menjadi gerakan kewajiban oleh negara (penyelenggara) dalam memastikan dampak positif dari perpisahan orang tua, dengan Negara, keluarga, orang tua dan masyarakat bersama pemerintah menjalankan kewajibannya dengan serius dan penuh rasa tanggungjawab, yaitu memastikan anak ketika berpindah pengasuhan atau didalam perebutan pengasuhan tidak mengalami dibentak, dihardik atau diperlakukan kasar dan dihargai pandangannya, pendapatnya di rumah, atau di titipkan dalam pengasuhan. Maka anak akan menjadi pribagi yang unggul dan tertanam sifat menuntun, membimbing, toleran, membahagiakan teman sebayanya dan orang sekitarnya.
Selanjutnya mendengarkan, menghormati dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh atas Pandangan mereka, yang akan menstimulasi atau membantu pengembangan bangunan kecerdasan Emosi dan mentalnya, bukan hanya kecerdasan intelektual anak. Karena kita saat ini menghadapi anak pintar tapi mudah melakukan kekerasan, anak pandai tapi menggunakan kepintarannya untuk mempersekusi di media social, dan masih banyak lagi fenomena kondisi anak akibat persoalan kelemahan kejiwaan dan emosi. Mau tidak mau dengan banyaknya persoalan anak, RUU Pengasuhan Anak menjadi sesuatu yang tidak bisa di tunda, dan ini menjadi paling pinggir atau paling hulu yang harus kita selamatkan, agar mereka tidak tumbuh dengan mengancam dirinya sendiri, tanpa sadar.
Pengasuhan anak adalah perlindungan anak yang tidak bisa terpisahkan. Selama ini ancaman anak terpisah dari orang tua yang bercerai, lebih muncul soal bantuan dan belas kasihan. Padahal amanat Tuhan lebih dari itu yaitu bisa menyelamatkan sejak anak sejak dari dalam keluarga. Kemudian para orang tua di miliki kemampuan mengasuh. Bukan ketika orang tua bingung bagaiamna caranya, anak anak menjadi korban, kemudian di intervensi bantuan. Ada yang perlu dibaca utuh oleh para pemegang kebijakan tentang RUU Pengasuhan Anak, agar intervensi pemerintah dan masyarakat semakin baik, kepada keluarga keluarga yang akan mengalami seperti selebritas ini.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
CP. 0821 1219 3515
